Konflik terhadap Si “Pembohong
Besar”
Semenjak kelas 5 SD
membuat suasana pelajaran di sekolah makin tenang. Di balik konflik tersebut
sering bermunculan. Saya pasti kurang tahu mengapa Fiqih ini sebagai “Pembohong
besar.” Soalnya sejak dari kelas 4 selalu merengek ketangisan di tengah
pelajaran sampai Bu Guru marah. Bingungnya Fiqih itu mengelu terhadap
perkembangan belajar di sekolah bahkan Mama Fiqi pun kurang mendidik di rumah.
Sedangkan siswa lainnya memandang fiqih secara terus-menerus. Dan hingga lingkungan
ini banyak sekali siswa SD yang selalu rata-rata kebanyakan bermain dari pada
belajar atau sebagainya. Saya pernah mengalami seperti itu.
Mainan kita mainkan justru menimbulkan membuang waktu
sampai sholat pun nggak berjalan. Namanya anak mau belajar sholat apalagi usia
lebih dari 5 tahun sudah bisa sholat. Fiqih melirikku dengan sengaja. Omongan
tak salah lagi sering bertenggang. Serasa teman-teman paling benci dengan
perkataan secara berlebihan. Fiqih hampir bingung dengan teman-teman sendiri
“Wahai bangsaku bagaimana engkau rela berkorban dan jasa
demi kemanusiaan dan kedamaian.” Sahut Fiqi sambil pidato di depan kelas.
“Hey kau, apa-apa ini jangan berpidato emangnya ini ruang
public.”
“Emangnya kenapa teman-teman apa selalu iri.”
“Ini sekolah bukan untuk tempat berbincang-bincang.”
“Apa yang kau lakukan?”
“Kaulah tukang “Pembohong besar”
Mulai sindir dengan habis-habisan. Tak bisa mengatasi
dari hari perhari. Seringkali Aku mengecewakan terhadap perilaku tersebut. Hal
tidak mungkin pasti bagaimana ia bisa kembali seperti yang dulu sayang tidak
punya solusi lain. Coba aku mampir ke Ruang Guru untuk lebih lanjut tentang
Fiqih sebagai “Pembohong Besar”. Ke sana lebih pelan-pelan tetapi Vina
menatapku biasa saja.
“Mas Ivan.” Sapa Vina
“Iya Vina.” Jawabku penuh hati yang tenang
“Lagi Ngapain?”
“Ini mau mampir untuk ngomong ke Guru seputar masalah
terhadap anak bandel.”
“Yuk ke masjid?”
“Untuk apa”
“Kita melaksanakan sholat dzhuhur biar nggak
ketinggalan.”
“Oke tak jalan.” Sahutku mengikuti petunjuk dari Vina.
Agar aktivitas nggak jenuh mendingan melaksanakan Sholat
Dzuhur di Masjid supaya nggak ketinggalan. Di Masjid aku mengampuni oleh Allah
dengan Do’a. saat hendak berdo’a Vina pasti lihat ternyata Ivan terlalu kasihan
dengan Fiqih.
“Ivan!”
“Ya Vina”
“Kamu kok sedih sih. Ceritain dong masalah apa yang
menurut kamu saat ini?” ia menawarkan untuk bercerita entah curhatan hati
kepada seseorang.
“Begini Vina semenjak kelas 4 sudah berteman dengan
Fiqih. Ia laki-laki yang kuat. Tangguh dan tidak pernah selalu mendurhakai
orang tua. Terus mengelilingi samudera dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
pasti mendapatkan pemahaman yang luas. Tetapi ia hilang dalam pikiran Fiqih.
Teman-teman sebagian besar menyindir Fiqih akibatnya ia selalu berkeliaran di
berbagai kelas hingga ruang lain. Tentunya Fiqih selalu bermain dengan aku.
Seolah-olah gambaran itu hanya sebatas bulir kesedihan.” Gumam Aku sambil
bercerita tentang Fiqih menemani wajah penuh kesedihan.
“Ivan, Aku tahu gambaran Fiqih sudah biasa. Bagaimana
lagi lingkungan sekolah sering mendapat kritikan dari teman. Vina juga begitu,
ketika lomba Vina selalu grogi pas nampil. Alhamdulillah Vina dapat juara 2
Lomba Tilawatil Qur’an setingkat SD.” Ujar Vina mengungkapkan jawaban dari
Ivan.
“Emang bisa? Kamu gimana kok bisa menang?”
“Belajar dan berlatih saja. nanti nggak bisa akan
mempengaruhi malas dari kamu. Jangan berhenti sampai di sini. Nanti semenjak
SMP pasti menemukan potensi dan Vina berpesan penting yaitu mencari kelemahan
terhadap seseorang. Semakin akan mencari maka kelemahanmu akan ketemu. Caranya
dengan perlu menyerang dalam titik tersebut. Faham nggak?”
“Yakin Aku ingin mencari titik kelemahan itu?”
“Insya Allah aku pasti bisa. Percayalah sama Vina.”
“Baiklah akan ku coba.”
“Oke aku pergi ke kelas dulu.”
“Ya makasih ya Vin.”
“Ya sama-sama Van”
Curhat terlalu panjang tetapi tetap bisa mencari
kelemahan bagi Fiqih. Semangat dan Tekad telah mulai. Fiqih mengacaukan teman
dengan sindir terus-menerus. Teman-teman lainnya terlalu takut. Sepertinya Aku
mulai berlari keruangan sebab ada bermasalahan dengan teman-temannya. Fiqih
nggak bisa berhenti nakal tersebut. Aku masuk secara paksa.
“Kau!”
“Hey Ivan, apa kau ingin melawan denganku!”
“Fiqih hentikan semua ini sampai teman-temanmu takut
terhadap perilakumu.”
“Aku nggak peduli ucapanmu yang bikin sakit mual menempel
di lantai yang kotor ini. Ha-ha-ha”
“Fiqih kau keterlaluan!”
“Ayo sini panda yang manis.”
“Aku tak takut Pembohong Besar”
Aku dan Fiqi kini bertentang dengan cara kekerasan.
Tanganku mulai menggenggam seperti pembalasan telah mulai. Fiqih sendiri mulai
bereaksi. Aku belari cepat langsung menonjol wajah secara keras. Luka telah
mengeluarkan ambisinya. Kerah baju Fiqi mengenggamku lalu menatap wajah ke
wajah dalam berbaring. Serasa mengambil tindakannya
“Fiqi!”
“Ya anak rakus.”
“Selama kau sudah berbeda.”
“Mau bagaimana lagi aku sudah punya tujuan yang berbeda
dibandingkan kamu pembunuh kejam.”
“aku tidak peduli dengan perkatanmu yang menjijikan terus
menghina apa yang engkau perlakukan.”
“Oh ya bagaimana nasib kau anak rakus.” Sindir Fiqih
dengan radikal.
Konflik pembohong besar denganku menjadi sasaran incaran
kita. Suasana semakin memburuk. Aku tidak punya pilihan untuk mengatasi anak
Pembohong besar. Fiqih sekarang sudah berbeda tanpa memedulikan aku diri
sendiri. Pantaskah bisa mengatasi dengan perang face to face dalam bentuk yang berbeda. Aku dan Fiqi kini berakhir
musuh dalam persahabatan. Pola fikir berbeda dari orang lain. Konflik masih
berlanjut…..